kali ini saya akan membagikan sebuah tulisan berkenaan dengan Fiqh Puasa
Makna
puasa
secara
syar’i:
menahan
dan
mencegah
diri
secara
sadar
dari
makan,
minum bersetubuh
dengan
perempuan
dan
hal-hal
semisalnya,
selama
sehari
penuh.
Yakni
dari kemunculan fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat memenuhi
perintah dan taqarrub kepada Allah SWT. (Al Baqarah
187)
Hikmah Puasa
1.Tazkiyah
An Nafs
2.Menyehatkan
diri baik fisik maupun ruh
3.Tarbiyah
bagi ruh agar menjadi sabar
4.Mengendalikan
gejolak
syahwat
5.Menajamkan
perasaan terhadap nikmat Allah SWT
6.Hikmah
ijtima’iyah
7.Membawa
manusia
menuju
derajat
muttaqin
•Puasa
fardhu
‘ain,
Ramadhan
•Puasa
fardhu
karena
sebab
tertentu
•Puasa
wajib
yang diwajibkan
untuk
dirinya
sendiri,
yaitu
puasa
nazar
•Puasa
sunah
•Puasa
makruh
•Puasa
haram
Orang Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa:
•orang gila sampai ia sembuh,
namun hari-hari puasa selama ia gila tidak perlu diqadha
•orang yang tidur hingga ia
bangun, misalnya orang yang pingsan dalam waktu yang lama, seminggu
sebulan
atau lebih. Jika pingsannya hanya sebentar, perlu diqadha
•anak kecil hingga dewasa
“ Pena diangkat dari tiga golongan. Dari
orang gila yang akalnya tertutup hingga sembuh, dari
orang tidur hingga bangun,
dari anak kecil hingga mimpi jimak”
(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu
Hibban, dengan sanad shahih, Shahih Al Jami’ Ash
Shaghir).
•orang yang sedang sakit (al
Baqarah 185), yaitu yang sakitnya masih bisa diharapkan
kesembuhannya, dan
penyakit tersebut menyebabkan orang yang berpuasa menjadi payah dan sakit,
atau
semakin parah, atau terlambat kesembuhannya.
•orang yang sedang dalam
perjalanan (Al Baqarah 185), harus diqadha puasanya di lain hari. Menurut
jumhur, yang dikatakan safar adalah jika perjalanannya lebih jauh dari 90 km.
Hamzah ra. pernah berkata, “Wahai Rasulullah,
saya mendapati pada diri saya kekuatan untuk
berpuasa dalam safar, apakah saya
bersalah (bila berpuasa)?” Nabi SAW menjawab,
Ia adalah dispensasi dari Allah SWT.
Barangsiapa mengambilnya maka itu baik, dan barangsiapa
ingin tetap berpuasa,
tidaklah mengapa.”
(HR. Muslim)
Namun
jika safarnya itu menyebabkan ia dalam keadaan yang susah payah, maka Nabi SAW
bersabda, “ Bukanlah
suatu kebajikan, berpuasa di safar.”
Yang utama adalah yang paling ringan
untuk dikerjakan, bisa jadi berbuka lebih
ringan bagi seseorang, namun bisa jadi berpuasa lebih
ringan bagi orang lain,
karena khawatir nantinya malas untuk mengqadha, misalnya. Namun juga
perlu
diperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Misalnya jika masyarakat masih
berpandangan bahwa
dalam safar tidak boleh berbuka, maka untuk berdakwah dan
mengajarkan sunah Nabi SAW, sangat
diutamakan ia berbuka. Atau bahkan sebagai
panutan, ia bisa diwajibkan untuk berbuka. Kondisi lain
adalah jika kelompoknya
mayoritas berbuka, maka untuk menjaga kekompakan dan mencegah diri
dari riya,
dianjurkan berbuka. Atau jika pemimpin rombongan memerintahkan untuk berbuka
saat
safar, hal ini juga menyebabkan seseorang justru harus berbuka saat safar.
•Safar
dengan kendaraan modern dan kenyamanan fasilitas lainnya juga tidak
menggugurkan rukshah
bagi para musafir untuk berbuka. Kecuali seseorang yang
kehidupannya dalam perjalanan, seperti
pelaut yang tinggal di kapal bersama
keluarganya dan memiliki berbagai perbekalan untuk memenuhi
hajat hidupnya.
•wanita yang sedang haidh atau
nifas, namun puasanya harus diqadha. Para ulama
memperbolehkan para wanita
meminum obat penunda haidh, namun disarankan untuk
berkonsultasi dengan dokter.
•orang tua renta atau mengidap
penyakit yang tidak ada lagi harapan sembuh sehingga sangat
berat jika
berpuasa, namun harus membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap
harinya sampai si miskin cukup dengan makanan yang biasa ia santap dengan keluarganya).
•orang yang pekerjaannya amat
berat, sehingga tidak sanggup berpuasa. Jika ada hari-hari di mana ia
mampu
mengqadhanya, maka ia wajib mengqadha, namun jika tidak ada hari-hari di mana
ia mampu
mengqadhanya, diperbolehkan dengan membayar fidyah.
•orang-orang yang kelaparan,
kehausan dan takut binasa, bahkan hukumnya bisa menjadi wajib
baginya untuk
berbuka.
•perempuan hamil dan menyusui,
mereka harus membayar fidyah tanpa harus mengqadha
(pendapat Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas ra).
Sekian tulisan yang bisa saya bagi
Semoga bermanfaat
Terimakasih